Translate

Tampilkan postingan dengan label pmri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pmri. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 Juni 2012

MENDESAIN SENDIRI SOAL KONTEKSTUAL MATEMATIKA

Zulkardi1 dan Ratu Ilma2
1 Program Studi Pendidikan Matematika PPs Unsri Palembang
E-mail: zulkardi@yahoo.com
2 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri Palembang
E-mail: ratuilma@yahoo.com

Abstrak

          Terkait dengan Undang-undang Guru dan Dosen, salah satu kemampuan yang diharapkan dari guru matematika yang profesional adalah kemampuan pedagogik yang diantaranya mendesain sendiri materi dan soal-soal kontekstual yang dapat digunakan baik sebagai alat peningkatan kualitas proses belajar mengajar maupun sebagai alat penilaian.

          Pada paper ini dijelaskan apa dan mengapa soal kontekstual matematika termasuk peran konteks dalam matematika sekolah. Kemudian dibahas langkah-langkah bagaimana mendesain soal kontekstual mulai dari pemilihan konteks yang sesuai konsep sampai kepada teori yang yang digunakan sebagai pedoman yang dalam hal ini adalah Realistic Mathematics Education(RME) atau Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Terakhir, diberikan contoh-contoh soal kontekstual yang telah didesain serta didiskusikan hasil uji cobanya pada siswa dan mahasiswa dalam beberapa kesempatan.

1. Pendahuluan

          Guru matematika di sekolah saat ini dituntut banyak tanggung jawab yang diantaranya adalah mendesain soal matematika sendiri. Hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya adalah tuntutan undang-undang, munculnya kurikulum baru, inovasi pembelajaran dan tanggung jawab terakit suksesnya siswa pada Ujian Akhir Nasional. Pertama, pada pasal 10 Undang-undang Guru dan Dosen yang disyahkan oleh DPR pada bulan Desember 2005 [4] disebutkan bahwa guru dan dosen yang profesional harus mempunyai empat kompentensi atau kemampuan utama yaitu: kemampuan pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Untuk kompentensi pedagogik, guru dan dosen dituntut untuk mampu menyiapkan materi pembelajaran,
mengajarkannya di kelas dan mengevaluasinya. Menyiapkan pembelajaran diperlukan kemampuan yang salah satunya adalah mendesain sendiri soal-soal yang akan digunakan siswa.

         Di samping itu, pada tahun akademik 2006/2007, sebagian sekolah sudah memulai pelaksanaan ’Kurikulum 2006’ atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dokumen KTSP pada semua level matematika sekolah dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22. 23. dan 24 yang baru dipublikasikan [3]. Kurikulum ini hanya berisikan standar isi (apa yang harus dipelajari) dan standar kompentensi lulusan (tujuan yang ingin dicapai) sedangkan indikator diberikan kebebasan kepada guru untuk menyusun sendiri. Hal ini tentunya menuntut kemampuan dan pengalaman guru.

          Selanjutnya, trend atau arah pendekatan pembelajaran matematika di Sekolah saat ini adalah penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika. Inovasi tersebut seperti Contextal Teaching and Learning (CTL) dan Realistic Mathematics Education (RME). Untuk RME yang juga dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) menggunakan kontekssebagai titik awal bagi siswa dalam mengembangkan pengertian matematika dan sekaligus menggunakan konteks tersebut sebagai sumber aplikasi matematika. Karakteristik utama RME ini termasuk dalam KTSP matematika sekolah pada semua kelas yang menganjurkan pada setiap kesempatan pembelajaran matematika agar dimulai dengan contextual problems; atau masalah kontekstual atau situasi yang pernah dialami siswa [3].

          Kemudian, situasi di sekolah saat ini khususnya di Sekolah Menengah, guru matematika dituntut untuk banyak berkecimpung dengan soal-soal matematika yang mereka berikan kepada siswa untuk menyiapkan diri supaya mampu mengerjakan soal-soal Ujian Akhir Nasional (UAN). Hal ini penting tentunya, karena jika siswa gagal dalam matematika maka gurunya yang akan disalahkan oleh Kepala Sekolah dan bahkan Orang Tua. Tapi permasalahannya adalah soal-soal yang digunakan siswa adalah soal-soal yang kurang dan bahkan tidak menggunakan konteks.

         Padahal, tujuan pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya untuk menjadikan siswa sebagai ahli matematika yang mengerti matematika sebagai suatu disiplin ilmu dan memberi bekal untuk pendidikan selanjutnya, tetapi juga untuk memberi mereka bekal yang cukup sebagai anggota masyarakat global yang kritis dan pintar (mathematical literacy), dan persiapan dalam bekerja, Dalam pendidikan matematika di Indonesia, hanya tujuan yang pertama dan kedua yang difokuskan di sekolah, tetapi yang dua terakhir kurang dan bahkan tidak pernah. Berdasarkan beberapa dasar pemikiran di atas, yang menjadi masalah dalam paper ini adalah bagaimana membantu guru untuk membuat soal-soal kontekstual matematika? .

2. Kontekstual dan Macam-macamnya

          Pembelajaran matematika di sekolah haruslah bermakna dan berguna bagi anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Soal kontekstual matematika adalah merupakan soal-soal matematika yang menggunakan berbagai konteks sehingga menghadirkan situasi yang pernah dialami secara real bagi anak. Pada soal tersebut, konteksnya harus sesuai dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Konteks itu sendiri dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari.

          Menurut de Lange [1] ada empat macam masalah konteks atau situasi:
􀂄 Personal Siswa- situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, teman sekelas dan kesenangannya.
Berikut adalah contoh soal terkait dengan personal siswa:
A dan B teman sebangku. Jarak rumah A ke Sekolah 3 km dan jarak
rumah B ke Sekolah 5 km. Berapakah jarak rumah mereka?

􀂄 Sekolah/ Akademik – situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.
Berikut adalah contoh soal terkait dengan personal siswa:


􀂄 Masyarakat / Publik- situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar dimana siswa tersebut tinggal. Sebagai contoh, semangka yang dijual di pasar dapat digunakan untuk memulai pembelajaran kubus. Beberapa soal kontekstual dapat dibuat mulai dari bentuk, berat, harga dan vitamin yang terkandung di dalamnya.
 􀂄 Saintifik/ Matematik- situasi yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Yang manakah yang luasnya terbesar?



          Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, & mempraktekkan skill tertentu). Selain itu, penggunaan konteks dapat memudahkan siswa untuk mengenali masalah sebelum memecahkannya. Konteks dapat dimunculkan tidak harus pada awal pembelajaran tetapi juga pada tengah proses pembelajaran, dan pada saat asesmen atau penilaian.

3. Soal-soal kontekstual dan Fungsinya

         Dalam PMRI, de Lange [1] mengelompokkan soal-soal kontekstual ke dalam tiga bagian yaitu:
􀂄 Tidak ada konteks sama sekali.
Dalam kelompok ini, kebanyakan soal-soal yang tidak menggunakan konteks sama sekali, langsung dalam bentuk formal matematika. Sebagai contoh: Tentukan akarakar suatu Persamaan Kuadrat x^2 – 5x + 6 = 0; atau gambarlah grafik fungsi y = sin x.
􀂄 Konteks Dress-up (kamuflase)
Pada kelompok ini, soal-soal biasa diubah menggunakan bahasa cerita sehingga terasa bahwa soal tersebut memiliki konteks. Sebagai contoh soal sistem persamaan linear dengan dua variabel dimana variabel x dan y nya diganti dengan nama barang belanjaan buku dan pensil. Misal : 2x + y = 3 dan x + 3y = 4, berapakah nilai x dan y?. Soal ini diubah atau ‘dibajui‘ menjadi 2 pensil dengan satu buku sama dengan tiga satuan dan satu pensil dengan tiga buku sama dengan 4 satuan. Berapa satuankah harga pensil dan buku?
Disini terlihat aplikasi hanya kamuflase tetapi tidak bermakna karena kurang fit dengan harga pensil dan buku sebenarnya di toko buku.
􀂄 Konteks yang relevan dengan konsep
Disini, soal-soal betul-betul memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Beberapa contoh ditunjukkan pada bagian akhir makalah ini.

          Selain itu, kesulitan soal kontekstual matematika bagi siswa dibagi ke dalam tiga level yaitu:
􀂄 Level I: Mudah - Reproduksi, definisi, prosedur standar, fakta
Pada level ini, diperlukan hanya satu konsep matematika. Sebagai contoh adalah:
Gambarkan grafik y = x ; tentukanlah nilai x pada x + 3 = 9 – 3x .
􀂄 Level II: Sedang- Kombinasi, Integrasi, Koneksi
Soal pada level ini membutuhkan paling tidak dua konsep matematika. Type soalnya cenderung merupakan suatu pemecahan masalah atau problem solving. Contoh sederhana dapat dilihat pada hal.2 yaitu soal yang menggunakan photo anak-anak SD sedang berbaris secara simetris. Konsep simetris digabung dengan trik pertanyaan yang menggunakan gambar yang sebagian dihilangkan (sebagain barisan laki-laki tidak kelihatan). Yang menarik adalah ada seorang anak yang berada di luar barisan yang tentunya harus dihitung.
􀂄 Level III: Sulit-Matematisasi, reasoning, generalisasi, modeling
Konsep matematika yang dibutuhkan untuk menjawab soal pada level ini sama dengan pada level 2. Hanya, pada level ini soal-soalnya mengarah kepada generalisasi dan modeling. Sebagai contoh, soal pada situasi personal (hal. 2) merupakan soal level ini dimana jawaban akhir dan komplit dari soal tersebut adalah berbentuk tempat kedudukan titik-titik antara dua lingkaran yang berjari-jari 3 dan 5 km yang kalau di sketsa, gambarnya berbentuk kue donat.

          Bila dikaitkan dengan ketiga level kesulitan soal matematika tersebut, maka fungsi konteks dalam matematika adalah: (1) pada level ke-tiga: konteks berfungsi sebagai karakteristik dari proses matematisasi; (2) pada level ke-dua: konteks berperan sebagai alat untuk mengorganisasi dan menstruktur dan menyelesaikan suatu masalah realitas; serta (3) pada level pertama: tidak ada konteks atau jika ada maka hanya kamuflase, operasi matematika yang di tambahi konteks.

          Secara umum, dalam PMRI, konteks berguna untuk pembentukan konsep: akses dan motivasi terhadap matematika; pembentukan model; menyediakan alat untuk berfikir menggunakan prosedur; notasi; gambar dan aturan; realitas sebagai sumber dan domain aplikasi; dan latihan kemampuan spesifik di situasi-situasi tertentu[5].

4. Contoh Soal-soal Kontekstual

          Sebagai ilustrasi berikut ini contoh soal-soal kontekstual terkait dengan konsep sistem persamaan linier. Kalau menurut kurikulum, topik ini di ajarkan di SMP kelas 2 tetapi bisa saja di mulai dari kelas sebelumnya sebagai pendahuluan. Guru mengenalkan masalah yang konteksnya real terhadap mereka sebagai titik awal pembelajaran yaitu[7]:
Belanja.




1. Tanpa tahu berapa harga masingmasing,
mana yang lebih mahal, kalkulator atau kaca mata?

2. Berapa kalkulator dapat dibeli seharga 5000?

3. Berapa harga satu kalkulator? Satu kaca mata?




          Proses belajarnya interaktif dalam arti adanya komunikasi dan interaksi antara guru dan murid
serta murid dan murid. Dimulai dengan memberikan soal kepada siswa misalnya dalam bentuk
lembaran kerja siswa, mereka bekerja dalam suatu group 2, 3 atau 4 orang. Guru berjalan
keliling kelas bertanya dan merespon seadanya tentang proses memecahkan masalah. Murid
senang sekali akan proses belajar seperti ini. Setelah beberapa menit, guru mengakhiri bagian
pelajaran ini. Murid di minta untuk menunjukkan dan menjelaskan solusinya di papan tulis
dalam diskusi kelas yang interaktif.
Setelah diskusi kelas tanpa merekomendasikan secara ekplisit mana strategi yang terbaik
dari strategi yang ada, guru meneruskan dengan memberikan soal kontekstual berikutnya:



4. Tanpa tahu berapa harga masing-masing, mana yang lebih mahal, payung atau topi?

5. Berapa harga tiga payung? Tiga topi?

6. Berapa harga satu payung? Satu topi?





          Aktivitas belajar siswa diulang lagi dengan pola yang sama yaitu diskusi kelompok kemudian diskusi kelas yang diwarnai dengan komunkasi, argumentasi dan justifikasi oleh siswa dimana peran guru sebagai fasilitator, moderator dan evaluator. Diakhir pelajaran siswa diminta untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari dan berdasarkan beberapa kesimpulan siswa, guru menarik kesimpulan apa yang telah dipelajari.
          Kegiatan selanjutnya jika waktu masih ada guru memberikan soal akhir unit atau soal yang merangkum apa yang telah dipelajari. Jika tidak ada waktu lagi maka soal tersebut dapat dijadikan pekerjaan rumah bagi siswa. Sebagai contoh soal berikut (lihat detail pada [6]):




Berapakah harga satu baju
kaos dan satu gelas es krim?
Berikan penjelasan!






          Dari soal ini, dijelaskan oleh bahwa muncul beberapa strategi jawaban yang digunakan siswa diantaranya adalah: strategi guess and check- tebak harga satuan dan uji kebenarannya; strategi reasoning- dasar eleminasi dengan menggiring ke satu barang yang dibeli; strategi combination chart-menggunakan grafik sederhana harga kaos sebagai sumbu datar dan es krim sumbu lainnya; dan strategi notebook-menggunakan dasar operasi tabel atau baris elementer. Semua strategi ini, dengan interaksi, refleksi dan skematisasi, siswa digiring untuk menggunakan variabel k (kaos) dan e (es krim) yang pada akhirnya menjadi bentuk formal dari sistem persamaan linear dua variabel yaitu:
2k +2e = 4400 dan
1k+3e=3000.

5. Simpulan

          Telah dijelaskan pengertian, type, peran dan contoh soal kontekstual matematika sekolah yang diwajibkan untuk digunakan sesuai dengan tuntutan KTSP. Begitu juga pembahasan tanggung jawab guru matematika yang profesional sesuai tuntutan Undang-undang guru dan dosen. Selain itu, contoh bagaimana mendesain soal kontekstual matematika yang dikaitkan dengan teori pembelajaran RME atau PMRI. Guru matematika dalam hal ini amat penting mempunyai kemampuan mendesain sendiri soal-soal kontekstual, mencobakannya pada siswa yang juga akan bermanfaat dalam menyiapkan siswa untuk menghadapi UAN. Dua hal yang akan didapat oleh siswa yaitu mereka tidak hanya akan menyenangi dan mengerti matematika tetapi sekaligus akan mampu menyelesaikan soal-soal ujian akhir nasional. Tentu soal-soal kontekstual yang didesain perlu di uji kevalidannya melalui review oleh teman seprofesi, kemudian direvisi, sebelum digunakan oleh siswa di dalam kelas. Nantinya, dengan beberapa kali revisi, soal-soal kontekstual tersebut akan menjadi produk yang berkualitas, menarik bagi siswa dan memudahkan mereka mengerti konsep matematika.

Daftar Pustaka

[1] De Lange, J. 1987. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW &OC
[2] Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD-ß Press / Freudenthal Institute
[3] Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 (standar isi, 23
(standar kompetensi lulusan, dan 24(Pelaksanaan Permen 22 dan 23). Available at : [ http://www.setjen.depdiknas.go.id/ ]. Retrieved On Juni 7th, 2006
[4] Depdiknasl 2005. Undang Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Available at : [ http://www.depdiknas.go.id/inlink.php?to=guru-dosen ]. Retrieved On July 1st, 2006
[5] Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1996. Assessment and realistic mathematics education. Utrecht: CD-B Press / Freudenthal Institute.
[6] Van Reeuwijk, M. 1995. The Role of Realistic Situations in developing tools for solving systems equations. Paper presented at the 1995 AERA meeting in San Fransisco. Available on line at http://www.fi.uu.nl/publicaties/literatuur/3781.pdf
[7] Zulkardi. 2002. Development a Learning environment on Realistic Mathematics Education (RME) for Indonesian student teachers. Dissertation. University of Twente, Enschede. The Netherlands.

#Paper ini merupakan paper terseleksi dan dipublikasikan pada prosiding KNM13 Semarang, 2006.

Minggu, 17 Juni 2012

PMRI


Oleh Shahibul Ahyan

A. Sejarah PMRI

Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di Belanda.

Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah. Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Selain itu juga ada Unismuh, Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.

Sejarah PMRI bisa dibaca pada buku 10 tahun PMRI di Indonesia ( A decade of PMRI in Indonesia, diterbitkan di Belanda) yang sudah beredar diseluruh dunia.


B. Pendekatan PMRI

PMRI atau RME adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang riil atau pernah dialami siswa, menekankan keterampilan proses berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri (student inventing) sebagai kebalikan dari (teacher telling) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pada pendekatan PMRI, guru berperan tidak lebih dari seorang fasilitator atau pembimbing, moderator dan evaluator. Sutarto Hadi (2005) menyebutkan bahwa diantara peran guru dalam PMRI adalah sebagai berikut :
1.     Guru hanya sebagai fasilitator belajar;
2.     Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
3.     Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan
4.     Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.

Dengan penerapan PMRI di Indonesia diharapkan prestasi akademik siswa meningkat, baik dalam mata pelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya. Sejalan dengan paradigma baru pendidikan sebagaimana yang dikemukakan Zamroni (dalam Sutarto Hadi, 2005), pada aspek prilaku diharapkan siswa mempunyai ciri-ciri :
1.     Di kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari;
2.     Mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;
3.     Bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menererima gagasan orang lain;
4.     Memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

RME banyak diwarnai oleh pendapat Profesor Hans Freudenthal (1905 – 1990), seorang penulis, pendidik, dan matematikawan berkebangsaan Jerman/Belanda. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi (passive receiver of readymade mathematics). Dua pandangan penting beliau adalah matematika harus dihubungkan dengan realitas dan matematika sebagai aktivitas manusia (mathematics as human activities), (Freudenthal, 1991). Pertama, matematika harus dekat terhadap siswa dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan mereka sehari-hari. Kedua, matematika sebagai aktivitas manusia sehingga siswa harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika.


C. Prinsip PMRI

Prinsip-prinsip PMRI adalah sebagai berikut :
1. Guided reinvention and didactical phenomenology
Karena matematika dalam belajar RME adalah sebagai aktivitas manusia maka guided reinvention dapat diartikan bahwa siswa hendaknya dalam belajar matematika harus diberikan kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang sama saat matematika ditemukan. Prinsip ini dapat diinspirasikan dengan menggunakan prosedur secara informal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan siswa.

2. Progressive mathematization
Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkat matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam matematisasi haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal.

3. Self-developed models
Peran self-developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi konkrit atau dari informal matematika ke formal matematika. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan menjadi berubah menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model dalam formal matematika.


D. Karakteristik PMRI

PMRI mempunyai lima karakteristik yaitu :
1. Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul.
2. Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal
Perhatian diarahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi dari pada hanya mentransfer rumus atau matematika formal secara langsung.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode unformal mereka ke arah yang lebih formal atau standar.
4. Interaktivitas
Negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama siswa dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif dimana strategi informal siswa digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya
Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.


E. Model pembelajaran PMRI

Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan teori PMRI, model tersebut harus mempresentasikan karakteristik PMRI baik pada tujuan, materi, metode, dan evaluasi (Zulkardi, 2002; 2004).

1. Tujuan
Dalam mendesain, tujuan haruslah melingkupi tiga level tujuan dalam RME : lover level, middle level, and high level. Jika pada level awal lebih difokuskan pada ranah kognitif maka dua tujuan terakhir menekankan pada ranah afektif dan psikomotorik seperti kemampuan berargumentasi, berkomunikasi, justifikasi, dan pembentukan sikap kristis siswa.

2. Materi
Desain guru open material atau materi terbuka yang didiskusikan dalam realitas, berangkat dari konteks yang berarti; yang membutuhkan; keterkaitan garis pelajaran terhadap unit atau topik lain yang real secara original seperti pecahan dan persentase; dan alat dalam bentuk model atau gambar, diagram dan situasi atau simbol yang dihasilkan pada saat proses pembelajaran. Setiap konteks biasanya terdiri dari rangkaian soal-soal yang menggiring siswa ke penemuan konsep matematika suatu topik.

3. Aktivitas
Atur aktivitas siswa sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi, negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini mereka mempunyai kesempatan untuk bekerja, berfikir dan berkomunikasi tentang matematika. Peranan guru hanya sebatas fasilitator atau pembimbing, moderator dan evaluator.

4. Evaluasi
Materi evaluasi biasanya dibuat dalam bentuk open-ended question yang memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau beragam jawaban atau free productions. Evaluasi harus mencakup formatif atau saat pembelajaran berlangsung dan sumatif, akhir unit atau topik.

Pembelajaran matematika menggunakan PMRI di Indonesia mulai diujicobakan pada tahun 2001 di 12 SD termasuk 4 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) atas permintaan Departemen Agama, bekerjasama dengan 4 LPTK: Universitas Pendidikan Indonesia I(UPI) Bandung, Universitas Sanata Darma (USD) Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Negeri Surabaya (UNESA).

Beberapa penelitian tentang PMRI telah dilaksanakan di Indonesia, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan Fauzan (2002) tentang implementasi materi pembelajaran realistik untuk topik luas dan keliling di kelas 4 sekolah dasar (SD) di Surabaya menunjukkan bahwa para guru dan siswa menyukai materi pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, proses belajar mengajar menjadi lebih baik, dimana siswa lebih aktif dan kreatif, guru tidak lagi menggunakan metode ‘chalk and talk’, dan peran guru berubah dari pusat proses belajar mengajar menjadi pembimbing dan narasumber.

Disamping itu, Penelitian Armanto (2002) tentang pengembangan alur pembelajaran lokal topik perkalian dan pembagian dengan pendekatan realistis di SD di dua kota yaitu Yogyakarta dan Medan menunjukkan bahwa siswa dapat membangun pemahaman tentang perkalian dan pembagian dengan menggunakan strategi penjumlahan dan pembagian berulang, siswa belajar perkalian dan pembagian secara aktif, dan mendapatkan hasil (menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok.

Temuan yang sama juga dilaporkan dalam penelitian di Bandung, yaitu siswa-siswa SLTP di sekolah percobaan menunjukkan perubahan sikap yang positif terhadap matematika, hal itu dipandang sebagai permulaan yang baik dalam pengembangan pendidikan matematika di Indonesia (Zulkardi, 2002). Dari beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa PMRI merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang sangat membantu untuk pengembangan pemahaman konsep matematika siswa, siswa mampu menemukan sendiri konsep matematika, siswa menjadi lebih aktif dan mampu berinteraksi dengan teman-temannya maupun dengan gurunya, dan guru tidak lagi menjadi pusat belajar mengajar melainkan guru sebagai fasilitator, motivator, moderator dan evaluator. Pembelajaran PMRI diharapkan bisa dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia mengingat dengan pendekatan ini proses pembelajaran semakin bermakna, konteks pembelajarannya tergantung dari sumber daya daerah masing-masing dan siswa tidak lagi terbebani dalam belajar matematika.


F. Standar Guru PMRI

Ada lima standar guru PMRI yaitu:
1.     Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang PMRI dan dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
2.     Guru mendampingi siswa dalam berpikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.
3.     Guru mendampingu dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4.     Guru mengelola kerjasama dan diskusi siswa dalam kelompok atau kelas sehingga siswa dapat saling belajar.
5.     Guru bersama siswa menyimpulkan konsep matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.


G. Standar Pembelajaran PMRI

Standar pembelajaran PMRI ada lima, yaitu:
1.     Pembelajaran materi baru diawali dengan masalah realistik sehingga siswa dapat mulai berpikir dan bekerja.
2.     Pembelajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan bertukar pendapat sehingga siswa dapat saling belajar dan meningkatkan pemahaman konsep.
3.     Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih efisien.
4.     Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
5.     Pembelajaran materi diakhiri dengan proses konfirmasi untuk menyimpulkan konsep matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.


H. Standar Bahan Ajar PMRI

Standar bahan ajar PMRI diantaranya adalah:
1.     Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa dalam memahami konsep matematika.
2.     Bahan ajar mengaitkan berbagai konsep matematika untuk memberi kesempatan bagi siswa belajar matematika secara utuh, yaitu menyadari bahwa konsep-konsep dalam matematika saling berkaitan.
3.     Bahan ajar memuat materi pengayaan dan remidi untuk mengakomodasi perbedaan cara berpikir siswa.
4.     Bahan ajar memuat petunjuk tentang kegiatan yang memotivasi siswa menjadi lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi.
5.     Bahan ajar memuat petunjuk tentang aktivitas yang mengembangkan interaksi dan kerjasama antar siswa.


I. Standar Lokakarya PMRI

Standar lokakarya PMRI yaitu:
1.     Kegiatan lokakarya berorientasi pada proses dan produk yang memudahkan mereka memahami konsep PMRI dan dapat digunakan di sekolah.
2.     Lokakarya memfasilitasi peserta dalam mengalami sendiri aktivitas terkait karakteristik PMRI untuk membangun pengetahuan dan keterampilan mereka.
3.     Materi lokakarya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum, praktik yang berlangsung di sekolah dan situasi ideal untuk meningkatkan adaptabilitas PMRI di sekolah.
4.     Selama lokakarya peserta melakukan refleksi tentang kaitan antara aktivitas yang dikerjakan dan konsep matematikanya.
5.     Lokakarya memberdayakan dan menumbuhkan kepercayaan diri peserta tentang PMRI sehingga dapat menerapkannya secara konsisten di sekolah.


Referensi:
Hadi, S. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Tulip.
Sembiring, RK.. (2010). Pendidikan Matematika Realistik Indonesia; Perkembangan dan Tantangannya. Palembang: Jurnal IndoMS Volume 1 No. 1 Juli 2010.
Sembiring, RK., Hoogland, K., and Dolk, M. (2010). A Decade of PMRI in
Indonesia. The Netherlands: APS International.
Zulkardi. (2002). Developing a Learning Envorinment on Realistic Mathematics Education for Indonesian Students Teachers. Thesis. University of Twente. Enschede: Printpartners Ipskamp.

Sabtu, 16 Juni 2012

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI): PERKEMBANGAN dan TANTANGANNYA


oleh: Robert K Sembiring

Abstract
This paper is about PMRI, the Indonesian version of realistic
mathematics education developed in the Netherlands. It is a movement to
reform mathematics education in Indonesia. What and why PMRI and
the problems and challenges it faces in its development. It began as a
small experiment ten years ago, now becomes a national movement.


PENDAHULUAN

          Sejarah kurikulum dan pelajaran matematika sekolah di Indonesia cukup panjang. Soedjadi (Sejarah PMRI, bab 2) membaginya atas: (1) era sebelum 1975, (2) era matematika modern, (3) kembali ke berhitung 1990-an , dan (4) masa “terpadu”. Dalam periode terakhir ini mulai muncul perubahan paradigma dari guru mengajar (teacher centered) ke siswa belajar (student centered). Pemecahan masalah (problem solving) kembali mendapat perhatian penting. Berbagai metode, kata Soedjadi selanjutnya, dicobakan: PBI (problem based instruction), discovery methodcooperative learning, CTL (Contextual Teaching and Learning), konstruktivisme, PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Semua metode ini bersifat umum, tidak khusus untuk matematika. Mengenai berbagai pendekatan ini dibahas khusus di Bab 4 buku Sejarah PMRI yang akan diterbitkan oleh Dikti. Sayangnya, hampir semua inovasi ini berumur pendek, seumur proyeknya, dan berdampak kurang signifikan.

       PMRI muncul sebagai metode khusus untuk matematika. Tulisan ini khusus membahas sejarah, perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam mendiseminasikan PMRI di tanah air. Pembaca yang tertarik mengetahui lebih rinci tentang PMRI, baik sejarah, teori yang mendasarinya, pelaksanaannya di sekolah, pandangan para pakar pendidikan internasional tentang PMRI dapat memperolehnya dari buku A decade of PMRI in Indonesia, editor Sembiring, Hoogland & Dolk, Bandung-Utrecht 2010. Buku ini telah diperbanyak oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan kata pengantar oleh Wakil Menteri, Prof. Fasli Jalal, Ph. D. Juga diharapkan akan terbit segera Sejarah PMRI dengan editor Suryanto dkk. Buku terakhir ini semuanya sumbangan tulisan para pelakunya, mulai dari pengalaman penggagasnya sampai pengalaman pelaksana di lapangan.


APA DAN MENGAPA PMRI

          PMRI digagas oleh sekolompok pendidik matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah mencari pengganti matematika modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah yang tidak menakutkan siswa, jadi ramah dan dapat menaikkan prestasi matematika siswa di dunia internasional. Di samping itu, matematika pada dasarnya bersifat demokratis, jadi wajar bila melalui matematika dapat ditanamkan budaya demokratis pada siswa. Pencarian yang lama akhirnya menemukan jawabannya lewat RME (Realistic Mathematics Education) yang diterapkan dengan sukses di Belanda sejak 1970-an dan juga di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat (disebut,a.l., Mathematics in Context). Salah satu
permasalahan terbesar dengan matematika modern ialah menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan secara mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa (Fauzan, 2002). Fauzan mengamati di kelas bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa memahaminya.

          PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia. Jadi bukan hanya suatu metode pembelajaran matematika, tapi juga suatu usaha melakukan transformasi sosial (Sembiring, 2007). Karakteristik dari pendekatan tersebut adalah:
 siswa lebih aktif berpikir,
 konteks dan bahan ajar terkait langsung dengan lingkungan sekolah dan siswa,
 peran guru lebih aktif dalam merancang bahan ajar dan kegiatan kelas.

          Suatu transisi dari cara tradisional, pendekatan yang berorientasi pada kemampuan teknis ke arah reformasi pendidikan matematika yang berdasarkan pemecahan masalah merupakan inovasi yang kompleks. Ini menuntut perubahan pada sikap guru dalam mengajar dan memperlakukan siswa. Faktor penting dalam menjamin kesuksesan reformasi ini adalah pelatihan guru dan pendidikan guru di LPTK. Faktor lain ialah baik guru dan dosen yang terlibat merasa bahwa reformasi ini milik mereka. Rasa kepemilikan akan tumbuh bila para dosen dan guru didorong terlibat dalam pengembangannya, jadi bukan sebagai alat saja. PMRI disebarkan berdasarkan model bottom up, LPTK dan sekolah ikut atas keinginan sendiri, bukan instruksi dari atas.

          Ada tiga prinsip dasar dalam RME/PMRI, yaitu: penemuan kembali secara terbimbing, fenomenologi didaktis, dan prinsip model mediasi. Ketiga dasar tadi terinspirasi oleh pandangan Freudenthal yang menganggap ‘ matematika sebagai kegiatan manusia’ (Sembiring, Hadi, Dolk, 2008; Sejarah PMRI, bab 3). Kata ‘real’ dalam ‘realistik’ maksudnya real dalam arti bermakna bagi siswa. Dalam teori RME/PMRI pelajaran diawali dari bahan yang kontekstual yang real dari segi pengalaman siswa (Gravemeijer, 2010).
Reformasi pendidikan matematika beralaskan dua tiang: pertama adalah kemampuan guru menciptakan budaya kelas yang berorientasi permasalahan dan mengajak siswa dalam pelajaran yang bersifat interaktif, dan yang kedua ialah merancang kegiatan pelajaran yang dapat mendorong penemuan kembali matematika
bersama dengan kemampuan guru menolong proses penemuan kembali (Gravemeijer, 2010).


PERKEMBANGAN PMRI

          Persiapan awal meliputi sosialisasi pada para dosen matematika, pimpinan LPTK, pejabat penting Diknas, khususnya Dikti, guru, termasuk kepala sekolah. Untuk mempersiapkan adanya tenaga akhli , pada thn 1998 enam dosen matematika LPTK dikirim ke Belanda belajar RME untuk S3 atas biaya Dikti. Sekarang mereka menjadi tenaga inti dalam PMRI. Percobaan pertama di sekolah dimulai 2001 di 12 SD termasuk 4 MIN atas permintaan Dept. Agama, bekerjasama dengan 4 LPTK: UPI, USD, UNY, dan UNESA, masing-masing bekerjasama dengan 2 SD dan 1 MIN.

          Sekarang sudah mencakup 20 LPTK dan banyak sekolah. Pendukung utama dana dari awal sampai sekarang adalah Dikti. Dari 2003 – 2005 diperoleh bantuan dari PBSI Belanda, termasuk 3 konsultan. Dari 2006 – 2010 diperoleh bantuan yang lebih besar dari Belanda melalui proyek NPT/NUFFIC. Sejak 2010 Balitbang Diknas juga turut memberi bantuan finansial.

           Faktor utama yang menjadi perhatian dalam melakukan reformasi ini adalah guru dan dosen yang harus bekerja sama. Mereka dipersiapkan melalui workshop yang meliputi kegiatan menyiapkan bahan ajar yang kontekstual, bagaimana mengatur siswa bekerja dalam kelompok dan memandu diskusi kelas, tidak
menggurui tapi mendorong siswa berani mengeluarkan pendapat, dsb. Dosen didorong turun ke sekolah dan memandu pertemuan berkala antar guru. Workshop selalu mengacu pada kegiatan di kelas. Sebelum workshop, Tim PMRI dan konsultan Belanda melakukan kunjungan ke sekolah dan melakukan observasi di kelas. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di kelas dirancang kegiatan workshop dan
perserta diajak mencari solusinya.


IMPoME

         Untuk mendukung penyediaan tenaga dosen yang paham PMRI di LPTK sejak 2009 telah dibuka IMPoME (International Master Programme on Mathematics Education) di UNESA Surabaya dan UNSRI Palembang bekerjasama dengan Universitas Utrecht , Belanda, asal RME. Beasiswa di sediakan oleh Dikti selama lebih setahun di Indonesia dan oleh StuNed/NESO selama setahun di Utrecht. Dalam jangka tidak terlalu lama diharapkan kedua institusi LKPTK ini mampu mengerjakannya sendiri, dan kemudian menjadi pusat pendidikan matematika realistik dalam dan luar negeri .


Tantangan yang Dihadapi dalam Penyebarannya
1. Menyiapkan guru, Kepala sekolah, Orang tua murid, Dinas, dsb
Mengubah kebiasaan mengajar dari menggurui menjadi pemfasilitasi/pemandu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Apalagi yang mau mengadakan perubahan itu sendiri juga harus mengubah kebiasaannya. Hal yang sama juga berlaku bagi kepala sekolah. Orang tua, pada gilirannya, lebih menekankan hasil yang baik untuk anaknya. Reformasi ini melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dalam pendidikan, khususnya para pengambil keputusan. Koordinasi antara semuanya, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat  dibutuhkan. Di sini peran dari Steering Committee PMRI akan sangat dibutuhkan. Saat ini Steering Committee PMRI diketuai oleh Prof. Fasli Jalal, Ph.D. beranggotakan semua wakil dari badan Diknas yang terkait seperti Dikti, Balitbang, Dikdasmen, PMPTK, dan wakil dari Dept Agama.
2. Pendidikan guru, khususnya PGSD. PGSD berada pada ujung tombak dalam pengembangan PMRI.
Pimpinan Dikti minta Tim PMRI mempersiapkan PGSD agar calon guru SD lulusan PGSD siap mengajarkan
PMRI tanpa perlu lagi ditatar dulu. Ini suatu penghematan dana, tenaga, dan waktu yang besar. Suatu pekerjaan besar mengingat banyaknya PGSD dengan kampus yang terpencar-pencar dan beban mengajar mereka yang sangat besar.
3. Penulisan Bahan Ajar.
Bahan ajar untuk mendukung guru dalam mengajarkan PMRI jelas mutlak harus segera disiapkan. Umumnya bahan ajar yang tersedia di pasaran lebih menekankan prosedur dan sedikit sekali memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya. Tim PMRI sudah mengedarkan secara terbatas bahan ajar kls1yang terdiri atas Buku Siswa dan Buku Guru, terpisah. Buku kls 2 akan segera siap dicetak. Sedangkan bahan untuk kls 3 s/d 6 dalam penulisan dan uji coba di kelas. Penulis bahan ajar terdiri atas para dosen dan guru bekerja dalam tim. Hasil kerja mereka kemudian dikonsultasikan pada pakar konsultan dari Belanda.
Kegiatan penulisan bahan ajar ini dari kls 2 s/d 6 atas dukungan dana dari Balitbang.
4. Research, khususnya Design Reseach.
Penelitian berkaitan dengan PMRI sudah cukup banyak dikerjakan, sebagian besar dalam bentuk tesis S2 ataupun disertasi S3 dari universitas dalam maupun luar negeri. Umumnya penelitian ini berkaitan dengan sekolah. Salah satu bentuk penelitain yang sedang digalakkan oleh Tim PMRI ialah design research. Design research, sering juga disebut developmental research, bertujuan memperbaiki praktik pembelajaran di kelas melalui analisis iteratif (cyclical prosess) dari dugaan apa yang akan terjadi di kelas (thought experiments) dan implementasinya (Gravemeijer, 1994; Gravemeijer & Cobb, 2006). Penelitian ini amat penting untuk
membantu guru dalam pengembangan contoh materi ajar dalam PMRI dan juga dalam pengembangan buku ajar. Tim PMRI sudah beberapa kali mengadakan workshop mengenai ini melibatkan para dosen dan guru di sekolah.
5. Evaluasi.
Sejauh ini beberapa evaluasi lokal oleh mereka yang terlibat dalam kegiatan PMRI, baik oleh dosen maupun guru/sekolah, sudah sering dilakukan dan hasilnya cukup menjanjikan. Belum ada evaluasi independen
tentang PMRI.
6. SEAMEO Regional Centre for QITEP in Mathematics.
Departemen Pendidikan Nasional mendirikan SEAMEO Regional Centre untuk pendidikan matematika di Yogyakarta dan pendidikan matematika realistik menjadi salah satu andalannya. Keterlibatan sebagian anggota Tim PMRI dari awal merupakan tantangan baru bagi Tim PMRI.
7. Pengembangan.
RME/PMRI bukanlah suatu teori yang sudah selesai, tinggal pakai. RME/PMRI berkembang sesuai tuntutan jaman dan kebutuhan setempat. Mengembangkannya serta sekali gus menjaga keutuhan konsepnya
merupakan tantangan yang besar.


DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teachin geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In J. van den Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney & N. Nieveen (Eds.), Educational design research (pp. 17-51). London
Routledge. Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Sembiring, R.K. (2007). PMRI: History, Progress and Challenges. Paper presented at the Earcome4, Penang, Malaysia.
Sembiring, R.K., Hadi, S, & Dolk, M, (2008). Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME. ZDM-The Internatioal Journal on Mathematics Education, 40(6), 927-939.
Sembiring, R., Hoogland, K., & Dolk, M. (2010). A decade of PMRI in Indonesia. Bandung,Utrecht, 2010.
Suryanto dkk (2010). Sejarah PMRI. Ditjen Dikti Kemendiknas Widjaja, W., Fauzan, A., & Dolk, M. (2009). The role of contexts and teacher’s questioning to enhance students’ thinking. In U.H. Cheah, Wahyudi, R.B.
Devadson, K.H. Ng, W. Preechaporn, & J.C. Aligaen (Eds.), Proceeding of the 3rd International Conference on Science and Mathematics. (466- 474). Penang: SEAMEO RECSAM.

Kamis, 05 April 2012

RME AS INSTRUCTIONAL THEORY


                Mathematic must be connect to the reality or the concept can to be imagine. Mathematic also must have a human activity. So that, Hans Frudental spark off RME. RME ( Realistic Mathematic Education ) is included in Learning and teaching theory. RME is approximation learning and teaching method so as to student find the connection between mathematic concept and mathematic in real situation. Real situation is mean that it isn’t just something real for student, but it is something that they can imagine, and also they can use knowledge that got before to the lesson.

                Real Situation   à     Mathematic Concept     à     Matematizing
                The scheme above refer that from real situation, student have mathematic activity and then they matematize it.
There are two matematizing type, that is
1.       Horizontal matematizing
Situation to following the model of situation, it’s mean that it is a transformation process from real situation into mathematic symbol.
2.       Vertical matematizing
Generalization situation, it’s mean that student don’t exceed transformation process but immediatelly to concept that has be known.
Three tenets in RME, that is
1.       Guide Reinventation
Every student is given chance to do the same process with the same mathematic concept.
2.       Dedactical Phenomenology
Phenomenon in learning and teaching in using context real situation.
3.       Self Developed Models
When doing the contextual problem, student is given chance to develop their own model to connect between formal knowledge and informal knowledge. Model of is the way in presentation model and model for is calculation.

Rabu, 04 April 2012

STANDAR-STANDAR DALAM PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI)

oleh : Y.Marpaung (Ketua P4MRI-USD Yogyakarta)

I. Pendahuluan
PMRI bukan suatu proyek, tetapi suatu gerakan yang bertujuan ;

  • memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan matematika di sekolah, khususnya di Indonesia.

  • Mempersiapkan siswa menghadapi masalah-masalah kehidupan yang semakin kompleks di masa depan.


Untuk mencapai tujuan itu dirumuskan beberapa standar PMRI, yaitu:
II. Standar PMRI (Dirumuskan oleh Tim-PMRI)


1. Standar Guru PMRI (Standards for a PMRI teacher)

a. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika
dan PMRI serta dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
A teacher has a repertoire of mathematics and PMRI didactics to develop a rich
learning environment.

b. Guru memfasilitasi siswa dalam berpikir, berdiskusi, danbernegosiasi untuk
mendorong inisiatif dan kreativitas siswa.
A teacher coaches students to think, discuss, and negotiate to stimulate initiative
and creativity.

c. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan
dan menemukan strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
A teacher guides and encourages students to express their ideas and find own
strategies.

d. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan
berdiskusi dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.
A teacher manages class activities in such a way to support students’ cooperation
and discussion for the purpose of knowledge construction.

e. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip
matematika melalui proses refleksi dan konfirmasi.
Teacher together with students summarize mathematics facts, concepts, principles
through a process of reflection and confirmation.





2. Standar Pembelajaran Menurut PMRI (Standards for a
PMRI Lesson)

a. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam
kurikulum.
PMRI lesson fulfill the accomplishment of competences as mentioned in the
curriculum.


b. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan
terbantu belajar matematika.
PMRI lesson starts with realistic problem to motivate and help students learn
mathematics.

c. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang
diberikan guru dan berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka
pengkonstruksian pengetahuan.
PMRI lesson gives students opportunities to explore and discuss given problems so
that they can learn from each other and to promote mathematics concept
construction.

d. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat
pembelajaran lebih bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh.
PMRI lesson interconnects mathematics concepts to make a meaningful lesson and
intertwining of knowledge.

e. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta,
konsep, dan prinsip matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan
latihan untuk memperkuat pemahaman.
PMRI lesson ends with a confirmation and reflection to summarize learned
mathematical facts, concepts, and principles and is followed by exercises to
strengthen students’ understanding.


3. Standar Bahan Ajar PMRI ( Standards for PMRI Teaching Materials)

a. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Teaching materials are in line with curriculum.

b. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan
membantu siswa belajar matematika.
Teaching materials use realistic problems to motivate students and to help students
learn mathematics.

c. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga
siswa memperoleh pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.

Teaching material intertwine mathematics concepts from different domains to give
opportunities for students to learn a meaningful and integrated mathematics.

d. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan
kemampuan berpikir siswa.
Teaching materials contain enrichment materials to accommodate different ways
and levels of students’ thinking.

e. Bahan ajar dirumuskan/ disajikan sedemikian sehingga mendorong/ memotivasi
siswa berpikir kritis, kreatif dan inovatif serta berinteraksi dalam belajar.
Teaching materials are presented in such a way to encourage students to think
critically, creative, innovative and stimulate students’ interaction and cooperation.


4. Standar Dosen PMRI (Standards for a PMRI Lecturer)

a. Dosen menggunakan prinsip-prinsip PMRI dalam proses perkuliahan sehingga
mahasiswa mengalami dan mengenal PMRI.
A lecturer uses PMRI principles during the courses to help student-teachers
experience and understand PMRI.

b. Dosen mendorong mahasiswa untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran
sebagai cerminan prinsip PMRI.
A lecturer teaches in a way that supports interactivity in the classroom as a
reflection of the principle of PMRI teaching.

c. Dosen mengamati pembelajaran matematika di sekolah untuk mengumpulkan
data dan informasi yang berguna untuk merancang perkuliahan dan penelitian.
A lecturer observes PMRI classrooms to collect data and information that can be
integrated in the courses at university and can be used as basis for research to
develop PMRI.

d. Dosen membantu guru dalam penerapan PMRI di sekolah.
A lecturer supports teachers to implement PMRI at school.

e. Dosen melaksanakan penelitian dan menghasilkan publikasi tentang PMRI.
A lecturer conducts research and make publication about PMRI.


5. Standar Lokakarya PMRI (Standards for a PMRI Workshop)

a. Kegiatan lokakarya berorientasi pada proses yang memudahkan peserta
memahami konsep PMRI, dan pada produk yang dapat digunakan dalam
pembelajaran.
Activities in a workshop are process-oriented that can support the participants to
understand PMRI ideas and product-oriented that can be used in school.


b. Lokakarya memfasilitasi peserta berpartisipasi aktif dalam membangun
pengetahuan dan keterampilan mereka, terkait dengan prinsip PMRI.
A workshop facilitates participants to experience the PMRI characteristic
themselves to build their knowledge and skills.

c. Materi lokakarya disesuaikan dengan tuntutan kurikulum, kondisi internal dan
eksternal sekolah, dengan tetap memperhatikan prinsip PMRI, untuk
meningkatkan adaptabilitas PMRI di sekolah.
Contents of a workshop are in line with curriculum demand, internal and external
condition of school, and envision an ideal situation in order to enhance
adaptability of PMRI in school.

d. Selama lokakarya peserta melakukan refleksi tentang kaitan antara aktivitas yang
dilakukan, konsep matematikanya dan landasan teoritik PMRI.
During a workshop participants reflect on the relation between the activities,
mathematical concepts and PMRI theories.


e. Lokakarya memberdayakan dan menumbuhkan kepercayaan diri peserta tentang
PMRI sehingga dapat menerapkannya secara konsisten di sekolah.
A workshop empowers and builds confidence of the participants to sustain
implementation of PMRI in schools.




6. Standar Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (P4MRI) ( Standards for a Local PMRI Center (LPC))

a. P4MRI sebagai wadah bagi dosen, guru, dan mahasiswa untuk melakukan
penelitian dan pengembangan PMRI.
An LPC is an organization for lecturers, teachers, and student-teachers to do
researches and develop PMRI.

b. P4MRI merupakan pusat informasi dan tempat konsultasi yang menarik yang
menyediakan informasi tentang buku, bahan ajar, media pembelajaran, agenda
pelatihan, jurnal, majalah, dan video.
An LPC is an information and consultation center about PMRI that provides
information, books, teaching materials, teaching media, agendas for professional
development, workshops and trainings, journals, magazines, and videos.

c. P4MRI merupakan pusat pelatihan yang mengelola dan melaksanakan pelatihan
PMRI yang menarik baik dalam proses maupun isi pelatihan.
An LPC is a training center that offers attractive and well-organized training on
PMRI that focus on the process and content.

d. P4MRI merupakan pusat komunikasi dengan sekolah, LPTK setempat, P4MRI
lain dan IP-PMRI.
An LPC is a communication center that creates cooperation between partners
schools, teacher training colleges, other LPCs an national and international
centers.

e. P4MRI adalah organisasi yang memiliki legalitas berdasarkan SK Rektor,
mempunyai ruangan dan staf.
An LPC is an organization that is legalized by the rector of the university as a
semi-independent organization with office and staffs.


7. Prinsip-prinsip PMRI (PMRI Principles)

a. Penemuan terbimbing dan matematisasi berkelanjutan
Guided reinvention and progressive mathematization

b. Fenomenologi didaktik
Didactical phenomenology


8. Karakteristik PMRI (PMRI Characteristics)

a. Penggunaan konteks dalam eksplorasi fenomenologis
Use of contexts in phenomenologies exploration.

b. Pengunaan model untuk mengkonstruksi konsep (Matematisasi horizontal dan
vertikal)
Use of models for mathematical concept construction.

c. Pengunaan kreasi dan kontribusi siswa
Use of students’ creations and contributions.

d. Sifat aktif dan interaktif dalam proses pembelajaran
Active and interactive in the learning process.

e. Kesalingterkaitan antara aspek-aspek atau unit-unit matematika (Intertwinement)
(de Lange, 1987)
Intertwining among mathematics aspects and units.
f. Ciri-ciri khas alam dan budaya Indonesia (Marpaung, 2004)
Typical characteristic of Indonesian nature and cultures.


III. Daftar Pustaka
1. de Lange, J. (1987). Mathematics, Insight and Meaning. Utrecht: OW & OC.
2. Gravemeijer, K.P.G. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht:
Freudenthal Institute.
3. Marpaung, Y. (2004): “Reformasi Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar”, pada Basis edisi
Juli 2004.
(Makalah pada WS PMRI di USD Selasa 20 Desember 2011)


Selasa, 29 November 2011

Melek MATEMATIKA

Mengapa Mesti Melek Matematika ?
Gambar di atas memuat soal yang di konteskan dalam final KONTES LITERASI MATEMATIKA di Aula PascaSarjana UNSRI.
Upaya untuk menggalakkan melek matematika ini, terutama dipelopori oleh Prof. Zulkardi (Pakar Pendidikan Matematika Universitas Sriwijaya) yakni dengan mengadakan Lomba Melek Matematika yang telah dilaksanakan tanggal 15-16 Oktober lalu di Kampus Pascasarjana UNSRI Bukit Besar. Peserta lomba melek matematika ini diawali pada siswa tingkat SLTP dahulu (dengan mengacu pada tujuan formal dan material di atas, dan juga penanaman kesadaran terhadap perlunya matematika bagi kehidupan, nampaknya pada level SLTP lebih cocok), dan pesertanya berasal dari SLTP-SLTP di beberapa wilayah Sumatera Selatan.
Lomba ini bertujuan menyeleraskan antara matematika dengan kehidupan. Soal-soal yang digunakan mengacu pada soal-soal PISA. Kecenderungan soalnya berupa soal matematika kontekstual. Matematika kontekstual yaitu matematika yang menyelaraskan antara matematika dengan kehidupan. Karena ilmu itu berasal dari proses kehidupan, maka hendaknya ia dikembalikan pada kehidupan itu sendiri, agar ia dapat bermakna bagi kehidupan dan mampu memecahkan masalah kehidupan. Tentunya diharapkan matematika itu mampu memecahkan masalah kehidupan, bukan malah membingungkan sehingga orang merasa takut terhadap matematika.
Soal-soal matematika PISA memiliki karakter Matematika literasi yakni memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi, memahami dan terlibat dalam matematika dan cukup beralasan membuat penilaian tentang peranan bahwa matematika ikut bermain baik pada kehidupan pribadi, kehidupan kerja, dan kehidupan sosial maupun sebagai warga negara.
Dalam PISA, literasi membaca didefinisikan sebagai tingkat kemampuan dalam menggunakan informasi tertulis sesuai dengan situasi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan itu berkenaan dengan keterampilan memahami, menggunakan, dan melakukan refleksi terhadap bacaan sesuai dengan tujuan membacanya, yaitu untuk menambah dan mengembangkan pengetahuan dan potensi diri, serta untuk berperan di masyarakat (OECD, 2003).
Matematika Literasi menyediakan pelajar dengan kesadaran dan pemahaman peran yang dengannya matematika bermain di dunia modern.  Matematika adalah subjek yang didorong oleh hidup-terkait aplikasi matematika. Hal ini memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan
kemampuan dan kepercayaan diri untuk berpikir secara numerik dan spasial dalam rangka untuk menafsirkan dan kritis menganalisa situasi sehari-hari dan untuk memecahkan masalah.
Lebih Jauh Perlunya Melek matematika
Menurut Mochtar Bukhori (Pakar Pendidikan), siswa tidak dapat dibiarkan buta matematika dan buta IPA, karena hal ini akan menghambat peningkatan kemampuan bangsa di bidang teknologi di masa depan. Memang tidak semua siswa berminat menjadi ahli matematika, ahli IPA atau ahli teknologi. Tetapi suatu masyarakat hanya akan berhasil mengembangkan kemampuan tekonologi cukup tinggi bila di masyarakat ada lapisan-lapisan penduduk dengan tingkat pemahaman matematika dan IPA yang beragam, dari kemampuan yang bersifat expertise, sampai yang bersifat apresiatif.
Kemudian Norman Levitt dari Departemen Matematika, Universitas Rutgers menambahkan, masyarakat yang membiarkan tumbuhnya kebutaan Matematika dan IPA akan selalu menolak argumen-argumen yang bersifat rasional, sistematis, dan tidak berpihak. Dengan demikian kebutaan matematika dan IPA yang melembaga akan membuat masyarakat kehilangan kemampuan berpikir secara disipliner dalam menghadapi masalah-masalah nyata, dari yang sepele sampai yang gawat.
Kedua jenis kebutaan ini pada taraf nasional akan membuat mereka yang bekerja di bidang-bidang yang berlainan tidak mampu memahami ”rasionalitas” masing-masing. ”Rasionalitas” politisi berbeda dari ”rasionalitas” akademisi, sehingga mereka sulit saling memahami. Sebab karena tidak ada ”rasionalitas umum” (common rationality) yang akan melahirkan kemampuan saling memahami.
Bahkan Levitt menegaskan, pendidikan matematika dan IPA yang merata akan memberi suatu generasi common rationality  dan mutual intelligibility. Dan bila kita dapat mengembangkan cara yang membuat suatu perbendaharaan konsep-konsep matematika dan sains yang nontrivial dapat dipahami dan dicerna tiap orang yang senang berpikir, akan tercipta suatu instrumen intelektual dan kultural yang mampu merekat berbagai jenis rasionalitas yang ada di berbagai cabang kehidupan.