Translate

Sabtu, 16 Juni 2012

PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA (PMRI): PERKEMBANGAN dan TANTANGANNYA


oleh: Robert K Sembiring

Abstract
This paper is about PMRI, the Indonesian version of realistic
mathematics education developed in the Netherlands. It is a movement to
reform mathematics education in Indonesia. What and why PMRI and
the problems and challenges it faces in its development. It began as a
small experiment ten years ago, now becomes a national movement.


PENDAHULUAN

          Sejarah kurikulum dan pelajaran matematika sekolah di Indonesia cukup panjang. Soedjadi (Sejarah PMRI, bab 2) membaginya atas: (1) era sebelum 1975, (2) era matematika modern, (3) kembali ke berhitung 1990-an , dan (4) masa “terpadu”. Dalam periode terakhir ini mulai muncul perubahan paradigma dari guru mengajar (teacher centered) ke siswa belajar (student centered). Pemecahan masalah (problem solving) kembali mendapat perhatian penting. Berbagai metode, kata Soedjadi selanjutnya, dicobakan: PBI (problem based instruction), discovery methodcooperative learning, CTL (Contextual Teaching and Learning), konstruktivisme, PAKEM (Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan). Semua metode ini bersifat umum, tidak khusus untuk matematika. Mengenai berbagai pendekatan ini dibahas khusus di Bab 4 buku Sejarah PMRI yang akan diterbitkan oleh Dikti. Sayangnya, hampir semua inovasi ini berumur pendek, seumur proyeknya, dan berdampak kurang signifikan.

       PMRI muncul sebagai metode khusus untuk matematika. Tulisan ini khusus membahas sejarah, perkembangan dan tantangan yang dihadapi dalam mendiseminasikan PMRI di tanah air. Pembaca yang tertarik mengetahui lebih rinci tentang PMRI, baik sejarah, teori yang mendasarinya, pelaksanaannya di sekolah, pandangan para pakar pendidikan internasional tentang PMRI dapat memperolehnya dari buku A decade of PMRI in Indonesia, editor Sembiring, Hoogland & Dolk, Bandung-Utrecht 2010. Buku ini telah diperbanyak oleh Kementerian Pendidikan Nasional dengan kata pengantar oleh Wakil Menteri, Prof. Fasli Jalal, Ph. D. Juga diharapkan akan terbit segera Sejarah PMRI dengan editor Suryanto dkk. Buku terakhir ini semuanya sumbangan tulisan para pelakunya, mulai dari pengalaman penggagasnya sampai pengalaman pelaksana di lapangan.


APA DAN MENGAPA PMRI

          PMRI digagas oleh sekolompok pendidik matematika di Indonesia. Motivasi awal ialah mencari pengganti matematika modern yang ditinggalkan awal 1990-an. Penggantinya hendaklah yang tidak menakutkan siswa, jadi ramah dan dapat menaikkan prestasi matematika siswa di dunia internasional. Di samping itu, matematika pada dasarnya bersifat demokratis, jadi wajar bila melalui matematika dapat ditanamkan budaya demokratis pada siswa. Pencarian yang lama akhirnya menemukan jawabannya lewat RME (Realistic Mathematics Education) yang diterapkan dengan sukses di Belanda sejak 1970-an dan juga di beberapa negara lain, seperti di Amerika Serikat (disebut,a.l., Mathematics in Context). Salah satu
permasalahan terbesar dengan matematika modern ialah menyajikan matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak dan diajarkan secara mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa (Fauzan, 2002). Fauzan mengamati di kelas bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa memahaminya.

          PMRI merupakan suatu gerakan untuk mereformasi pendidikan matematika di Indonesia. Jadi bukan hanya suatu metode pembelajaran matematika, tapi juga suatu usaha melakukan transformasi sosial (Sembiring, 2007). Karakteristik dari pendekatan tersebut adalah:
 siswa lebih aktif berpikir,
 konteks dan bahan ajar terkait langsung dengan lingkungan sekolah dan siswa,
 peran guru lebih aktif dalam merancang bahan ajar dan kegiatan kelas.

          Suatu transisi dari cara tradisional, pendekatan yang berorientasi pada kemampuan teknis ke arah reformasi pendidikan matematika yang berdasarkan pemecahan masalah merupakan inovasi yang kompleks. Ini menuntut perubahan pada sikap guru dalam mengajar dan memperlakukan siswa. Faktor penting dalam menjamin kesuksesan reformasi ini adalah pelatihan guru dan pendidikan guru di LPTK. Faktor lain ialah baik guru dan dosen yang terlibat merasa bahwa reformasi ini milik mereka. Rasa kepemilikan akan tumbuh bila para dosen dan guru didorong terlibat dalam pengembangannya, jadi bukan sebagai alat saja. PMRI disebarkan berdasarkan model bottom up, LPTK dan sekolah ikut atas keinginan sendiri, bukan instruksi dari atas.

          Ada tiga prinsip dasar dalam RME/PMRI, yaitu: penemuan kembali secara terbimbing, fenomenologi didaktis, dan prinsip model mediasi. Ketiga dasar tadi terinspirasi oleh pandangan Freudenthal yang menganggap ‘ matematika sebagai kegiatan manusia’ (Sembiring, Hadi, Dolk, 2008; Sejarah PMRI, bab 3). Kata ‘real’ dalam ‘realistik’ maksudnya real dalam arti bermakna bagi siswa. Dalam teori RME/PMRI pelajaran diawali dari bahan yang kontekstual yang real dari segi pengalaman siswa (Gravemeijer, 2010).
Reformasi pendidikan matematika beralaskan dua tiang: pertama adalah kemampuan guru menciptakan budaya kelas yang berorientasi permasalahan dan mengajak siswa dalam pelajaran yang bersifat interaktif, dan yang kedua ialah merancang kegiatan pelajaran yang dapat mendorong penemuan kembali matematika
bersama dengan kemampuan guru menolong proses penemuan kembali (Gravemeijer, 2010).


PERKEMBANGAN PMRI

          Persiapan awal meliputi sosialisasi pada para dosen matematika, pimpinan LPTK, pejabat penting Diknas, khususnya Dikti, guru, termasuk kepala sekolah. Untuk mempersiapkan adanya tenaga akhli , pada thn 1998 enam dosen matematika LPTK dikirim ke Belanda belajar RME untuk S3 atas biaya Dikti. Sekarang mereka menjadi tenaga inti dalam PMRI. Percobaan pertama di sekolah dimulai 2001 di 12 SD termasuk 4 MIN atas permintaan Dept. Agama, bekerjasama dengan 4 LPTK: UPI, USD, UNY, dan UNESA, masing-masing bekerjasama dengan 2 SD dan 1 MIN.

          Sekarang sudah mencakup 20 LPTK dan banyak sekolah. Pendukung utama dana dari awal sampai sekarang adalah Dikti. Dari 2003 – 2005 diperoleh bantuan dari PBSI Belanda, termasuk 3 konsultan. Dari 2006 – 2010 diperoleh bantuan yang lebih besar dari Belanda melalui proyek NPT/NUFFIC. Sejak 2010 Balitbang Diknas juga turut memberi bantuan finansial.

           Faktor utama yang menjadi perhatian dalam melakukan reformasi ini adalah guru dan dosen yang harus bekerja sama. Mereka dipersiapkan melalui workshop yang meliputi kegiatan menyiapkan bahan ajar yang kontekstual, bagaimana mengatur siswa bekerja dalam kelompok dan memandu diskusi kelas, tidak
menggurui tapi mendorong siswa berani mengeluarkan pendapat, dsb. Dosen didorong turun ke sekolah dan memandu pertemuan berkala antar guru. Workshop selalu mengacu pada kegiatan di kelas. Sebelum workshop, Tim PMRI dan konsultan Belanda melakukan kunjungan ke sekolah dan melakukan observasi di kelas. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan di kelas dirancang kegiatan workshop dan
perserta diajak mencari solusinya.


IMPoME

         Untuk mendukung penyediaan tenaga dosen yang paham PMRI di LPTK sejak 2009 telah dibuka IMPoME (International Master Programme on Mathematics Education) di UNESA Surabaya dan UNSRI Palembang bekerjasama dengan Universitas Utrecht , Belanda, asal RME. Beasiswa di sediakan oleh Dikti selama lebih setahun di Indonesia dan oleh StuNed/NESO selama setahun di Utrecht. Dalam jangka tidak terlalu lama diharapkan kedua institusi LKPTK ini mampu mengerjakannya sendiri, dan kemudian menjadi pusat pendidikan matematika realistik dalam dan luar negeri .


Tantangan yang Dihadapi dalam Penyebarannya
1. Menyiapkan guru, Kepala sekolah, Orang tua murid, Dinas, dsb
Mengubah kebiasaan mengajar dari menggurui menjadi pemfasilitasi/pemandu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Apalagi yang mau mengadakan perubahan itu sendiri juga harus mengubah kebiasaannya. Hal yang sama juga berlaku bagi kepala sekolah. Orang tua, pada gilirannya, lebih menekankan hasil yang baik untuk anaknya. Reformasi ini melibatkan banyak pihak yang berkepentingan dalam pendidikan, khususnya para pengambil keputusan. Koordinasi antara semuanya, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat  dibutuhkan. Di sini peran dari Steering Committee PMRI akan sangat dibutuhkan. Saat ini Steering Committee PMRI diketuai oleh Prof. Fasli Jalal, Ph.D. beranggotakan semua wakil dari badan Diknas yang terkait seperti Dikti, Balitbang, Dikdasmen, PMPTK, dan wakil dari Dept Agama.
2. Pendidikan guru, khususnya PGSD. PGSD berada pada ujung tombak dalam pengembangan PMRI.
Pimpinan Dikti minta Tim PMRI mempersiapkan PGSD agar calon guru SD lulusan PGSD siap mengajarkan
PMRI tanpa perlu lagi ditatar dulu. Ini suatu penghematan dana, tenaga, dan waktu yang besar. Suatu pekerjaan besar mengingat banyaknya PGSD dengan kampus yang terpencar-pencar dan beban mengajar mereka yang sangat besar.
3. Penulisan Bahan Ajar.
Bahan ajar untuk mendukung guru dalam mengajarkan PMRI jelas mutlak harus segera disiapkan. Umumnya bahan ajar yang tersedia di pasaran lebih menekankan prosedur dan sedikit sekali memberi peluang bagi siswa untuk mengembangkan kreativitasnya. Tim PMRI sudah mengedarkan secara terbatas bahan ajar kls1yang terdiri atas Buku Siswa dan Buku Guru, terpisah. Buku kls 2 akan segera siap dicetak. Sedangkan bahan untuk kls 3 s/d 6 dalam penulisan dan uji coba di kelas. Penulis bahan ajar terdiri atas para dosen dan guru bekerja dalam tim. Hasil kerja mereka kemudian dikonsultasikan pada pakar konsultan dari Belanda.
Kegiatan penulisan bahan ajar ini dari kls 2 s/d 6 atas dukungan dana dari Balitbang.
4. Research, khususnya Design Reseach.
Penelitian berkaitan dengan PMRI sudah cukup banyak dikerjakan, sebagian besar dalam bentuk tesis S2 ataupun disertasi S3 dari universitas dalam maupun luar negeri. Umumnya penelitian ini berkaitan dengan sekolah. Salah satu bentuk penelitain yang sedang digalakkan oleh Tim PMRI ialah design research. Design research, sering juga disebut developmental research, bertujuan memperbaiki praktik pembelajaran di kelas melalui analisis iteratif (cyclical prosess) dari dugaan apa yang akan terjadi di kelas (thought experiments) dan implementasinya (Gravemeijer, 1994; Gravemeijer & Cobb, 2006). Penelitian ini amat penting untuk
membantu guru dalam pengembangan contoh materi ajar dalam PMRI dan juga dalam pengembangan buku ajar. Tim PMRI sudah beberapa kali mengadakan workshop mengenai ini melibatkan para dosen dan guru di sekolah.
5. Evaluasi.
Sejauh ini beberapa evaluasi lokal oleh mereka yang terlibat dalam kegiatan PMRI, baik oleh dosen maupun guru/sekolah, sudah sering dilakukan dan hasilnya cukup menjanjikan. Belum ada evaluasi independen
tentang PMRI.
6. SEAMEO Regional Centre for QITEP in Mathematics.
Departemen Pendidikan Nasional mendirikan SEAMEO Regional Centre untuk pendidikan matematika di Yogyakarta dan pendidikan matematika realistik menjadi salah satu andalannya. Keterlibatan sebagian anggota Tim PMRI dari awal merupakan tantangan baru bagi Tim PMRI.
7. Pengembangan.
RME/PMRI bukanlah suatu teori yang sudah selesai, tinggal pakai. RME/PMRI berkembang sesuai tuntutan jaman dan kebutuhan setempat. Mengembangkannya serta sekali gus menjaga keutuhan konsepnya
merupakan tantangan yang besar.


DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, A. (2002). Applying realistic mathematics education in teachin geometry in Indonesian primary schools. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente.
Gravemeijer, K., & Cobb, P. (2006). Design research from a learning design perspective. In J. van den Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney & N. Nieveen (Eds.), Educational design research (pp. 17-51). London
Routledge. Gravemeijer, K. (1994). Developing realistic mathematics education. Utrecht: Freudenthal Institute.
Sembiring, R.K. (2007). PMRI: History, Progress and Challenges. Paper presented at the Earcome4, Penang, Malaysia.
Sembiring, R.K., Hadi, S, & Dolk, M, (2008). Reforming mathematics learning in Indonesian classrooms through RME. ZDM-The Internatioal Journal on Mathematics Education, 40(6), 927-939.
Sembiring, R., Hoogland, K., & Dolk, M. (2010). A decade of PMRI in Indonesia. Bandung,Utrecht, 2010.
Suryanto dkk (2010). Sejarah PMRI. Ditjen Dikti Kemendiknas Widjaja, W., Fauzan, A., & Dolk, M. (2009). The role of contexts and teacher’s questioning to enhance students’ thinking. In U.H. Cheah, Wahyudi, R.B.
Devadson, K.H. Ng, W. Preechaporn, & J.C. Aligaen (Eds.), Proceeding of the 3rd International Conference on Science and Mathematics. (466- 474). Penang: SEAMEO RECSAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar