Zulkardi1 dan Ratu Ilma2
1 Program Studi Pendidikan Matematika PPs Unsri Palembang
E-mail: zulkardi@yahoo.com
2 Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri Palembang
E-mail: ratuilma@yahoo.com
Abstrak
Terkait dengan Undang-undang Guru dan Dosen, salah satu kemampuan yang diharapkan dari guru matematika yang profesional adalah kemampuan pedagogik yang diantaranya mendesain sendiri materi dan soal-soal kontekstual yang dapat digunakan baik sebagai alat peningkatan kualitas proses belajar mengajar maupun sebagai alat penilaian.
Pada paper ini dijelaskan apa dan mengapa soal kontekstual matematika termasuk peran konteks dalam matematika sekolah. Kemudian dibahas langkah-langkah bagaimana mendesain soal kontekstual mulai dari pemilihan konteks yang sesuai konsep sampai kepada teori yang yang digunakan sebagai pedoman yang dalam hal ini adalah Realistic Mathematics Education(RME) atau Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Terakhir, diberikan contoh-contoh soal kontekstual yang telah didesain serta didiskusikan hasil uji cobanya pada siswa dan mahasiswa dalam beberapa kesempatan.
1. Pendahuluan
Guru matematika di sekolah saat ini dituntut banyak tanggung jawab yang diantaranya adalah mendesain soal matematika sendiri. Hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya adalah tuntutan undang-undang, munculnya kurikulum baru, inovasi pembelajaran dan tanggung jawab terakit suksesnya siswa pada Ujian Akhir Nasional. Pertama, pada pasal 10 Undang-undang Guru dan Dosen yang disyahkan oleh DPR pada bulan Desember 2005 [4] disebutkan bahwa guru dan dosen yang profesional harus mempunyai empat kompentensi atau kemampuan utama yaitu: kemampuan pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. Untuk kompentensi pedagogik, guru dan dosen dituntut untuk mampu menyiapkan materi pembelajaran,
mengajarkannya di kelas dan mengevaluasinya. Menyiapkan pembelajaran diperlukan kemampuan yang salah satunya adalah mendesain sendiri soal-soal yang akan digunakan siswa.
Di samping itu, pada tahun akademik 2006/2007, sebagian sekolah sudah memulai pelaksanaan ’Kurikulum 2006’ atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dokumen KTSP pada semua level matematika sekolah dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22. 23. dan 24 yang baru dipublikasikan [3]. Kurikulum ini hanya berisikan standar isi (apa yang harus dipelajari) dan standar kompentensi lulusan (tujuan yang ingin dicapai) sedangkan indikator diberikan kebebasan kepada guru untuk menyusun sendiri. Hal ini tentunya menuntut kemampuan dan pengalaman guru.
Selanjutnya, trend atau arah pendekatan pembelajaran matematika di Sekolah saat ini adalah penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika. Inovasi tersebut seperti Contextal Teaching and Learning (CTL) dan Realistic Mathematics Education (RME). Untuk RME yang juga dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) menggunakan kontekssebagai titik awal bagi siswa dalam mengembangkan pengertian matematika dan sekaligus menggunakan konteks tersebut sebagai sumber aplikasi matematika. Karakteristik utama RME ini termasuk dalam KTSP matematika sekolah pada semua kelas yang menganjurkan pada setiap kesempatan pembelajaran matematika agar dimulai dengan contextual problems; atau masalah kontekstual atau situasi yang pernah dialami siswa [3].
Kemudian, situasi di sekolah saat ini khususnya di Sekolah Menengah, guru matematika dituntut untuk banyak berkecimpung dengan soal-soal matematika yang mereka berikan kepada siswa untuk menyiapkan diri supaya mampu mengerjakan soal-soal Ujian Akhir Nasional (UAN). Hal ini penting tentunya, karena jika siswa gagal dalam matematika maka gurunya yang akan disalahkan oleh Kepala Sekolah dan bahkan Orang Tua. Tapi permasalahannya adalah soal-soal yang digunakan siswa adalah soal-soal yang kurang dan bahkan tidak menggunakan konteks.
Padahal, tujuan pembelajaran matematika di sekolah tidak hanya untuk menjadikan siswa sebagai ahli matematika yang mengerti matematika sebagai suatu disiplin ilmu dan memberi bekal untuk pendidikan selanjutnya, tetapi juga untuk memberi mereka bekal yang cukup sebagai anggota masyarakat global yang kritis dan pintar (mathematical literacy), dan persiapan dalam bekerja, Dalam pendidikan matematika di Indonesia, hanya tujuan yang pertama dan kedua yang difokuskan di sekolah, tetapi yang dua terakhir kurang dan bahkan tidak pernah. Berdasarkan beberapa dasar pemikiran di atas, yang menjadi masalah dalam paper ini adalah bagaimana membantu guru untuk membuat soal-soal kontekstual matematika? .
2. Kontekstual dan Macam-macamnya
Pembelajaran matematika di sekolah haruslah bermakna dan berguna bagi anak dalam kehidupan mereka sehari-hari. Soal kontekstual matematika adalah merupakan soal-soal matematika yang menggunakan berbagai konteks sehingga menghadirkan situasi yang pernah dialami secara real bagi anak. Pada soal tersebut, konteksnya harus sesuai dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Konteks itu sendiri dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam yang terkait dengan konsep matematika yang sedang dipelajari.
Menurut de Lange [1] ada empat macam masalah konteks atau situasi:
Personal Siswa- situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa baik di rumah dengan keluarga, dengan teman sepermainan, teman sekelas dan kesenangannya.
Berikut adalah contoh soal terkait dengan personal siswa:
A dan B teman sebangku. Jarak rumah A ke Sekolah 3 km dan jarak
rumah B ke Sekolah 5 km. Berapakah jarak rumah mereka?
Sekolah/ Akademik – situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di ruang kelas, dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.
Berikut adalah contoh soal terkait dengan personal siswa:
Masyarakat / Publik- situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar dimana siswa tersebut tinggal. Sebagai contoh, semangka yang dijual di pasar dapat digunakan untuk memulai pembelajaran kubus. Beberapa soal kontekstual dapat dibuat mulai dari bentuk, berat, harga dan vitamin yang terkandung di dalamnya.
Saintifik/ Matematik- situasi yang berkaitan dengan fenomena dan substansi secara saintifik atau berkaitan dengan matematika itu sendiri.
Yang manakah yang luasnya terbesar?
Tujuan penggunaan konteks adalah untuk menopang terlaksananya proses guided reinvention (pembentukan model, konsep, aplikasi, & mempraktekkan skill tertentu). Selain itu, penggunaan konteks dapat memudahkan siswa untuk mengenali masalah sebelum memecahkannya. Konteks dapat dimunculkan tidak harus pada awal pembelajaran tetapi juga pada tengah proses pembelajaran, dan pada saat asesmen atau penilaian.
3. Soal-soal kontekstual dan Fungsinya
Dalam PMRI, de Lange [1] mengelompokkan soal-soal kontekstual ke dalam tiga bagian yaitu:
Tidak ada konteks sama sekali.
Dalam kelompok ini, kebanyakan soal-soal yang tidak menggunakan konteks sama sekali, langsung dalam bentuk formal matematika. Sebagai contoh: Tentukan akarakar suatu Persamaan Kuadrat x^2 – 5x + 6 = 0; atau gambarlah grafik fungsi y = sin x.
Konteks Dress-up (kamuflase)
Pada kelompok ini, soal-soal biasa diubah menggunakan bahasa cerita sehingga terasa bahwa soal tersebut memiliki konteks. Sebagai contoh soal sistem persamaan linear dengan dua variabel dimana variabel x dan y nya diganti dengan nama barang belanjaan buku dan pensil. Misal : 2x + y = 3 dan x + 3y = 4, berapakah nilai x dan y?. Soal ini diubah atau ‘dibajui‘ menjadi 2 pensil dengan satu buku sama dengan tiga satuan dan satu pensil dengan tiga buku sama dengan 4 satuan. Berapa satuankah harga pensil dan buku?
Disini terlihat aplikasi hanya kamuflase tetapi tidak bermakna karena kurang fit dengan harga pensil dan buku sebenarnya di toko buku.
Konteks yang relevan dengan konsep
Disini, soal-soal betul-betul memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Beberapa contoh ditunjukkan pada bagian akhir makalah ini.
Selain itu, kesulitan soal kontekstual matematika bagi siswa dibagi ke dalam tiga level yaitu:
Level I: Mudah - Reproduksi, definisi, prosedur standar, fakta
Pada level ini, diperlukan hanya satu konsep matematika. Sebagai contoh adalah:
Gambarkan grafik y = x ; tentukanlah nilai x pada x + 3 = 9 – 3x .
Level II: Sedang- Kombinasi, Integrasi, Koneksi
Soal pada level ini membutuhkan paling tidak dua konsep matematika. Type soalnya cenderung merupakan suatu pemecahan masalah atau problem solving. Contoh sederhana dapat dilihat pada hal.2 yaitu soal yang menggunakan photo anak-anak SD sedang berbaris secara simetris. Konsep simetris digabung dengan trik pertanyaan yang menggunakan gambar yang sebagian dihilangkan (sebagain barisan laki-laki tidak kelihatan). Yang menarik adalah ada seorang anak yang berada di luar barisan yang tentunya harus dihitung.
Level III: Sulit-Matematisasi, reasoning, generalisasi, modeling
Konsep matematika yang dibutuhkan untuk menjawab soal pada level ini sama dengan pada level 2. Hanya, pada level ini soal-soalnya mengarah kepada generalisasi dan modeling. Sebagai contoh, soal pada situasi personal (hal. 2) merupakan soal level ini dimana jawaban akhir dan komplit dari soal tersebut adalah berbentuk tempat kedudukan titik-titik antara dua lingkaran yang berjari-jari 3 dan 5 km yang kalau di sketsa, gambarnya berbentuk kue donat.
Bila dikaitkan dengan ketiga level kesulitan soal matematika tersebut, maka fungsi konteks dalam matematika adalah: (1) pada level ke-tiga: konteks berfungsi sebagai karakteristik dari proses matematisasi; (2) pada level ke-dua: konteks berperan sebagai alat untuk mengorganisasi dan menstruktur dan menyelesaikan suatu masalah realitas; serta (3) pada level pertama: tidak ada konteks atau jika ada maka hanya kamuflase, operasi matematika yang di tambahi konteks.
Secara umum, dalam PMRI, konteks berguna untuk pembentukan konsep: akses dan motivasi terhadap matematika; pembentukan model; menyediakan alat untuk berfikir menggunakan prosedur; notasi; gambar dan aturan; realitas sebagai sumber dan domain aplikasi; dan latihan kemampuan spesifik di situasi-situasi tertentu[5].
4. Contoh Soal-soal Kontekstual
Sebagai ilustrasi berikut ini contoh soal-soal kontekstual terkait dengan konsep sistem persamaan linier. Kalau menurut kurikulum, topik ini di ajarkan di SMP kelas 2 tetapi bisa saja di mulai dari kelas sebelumnya sebagai pendahuluan. Guru mengenalkan masalah yang konteksnya real terhadap mereka sebagai titik awal pembelajaran yaitu[7]:
Belanja.
1. Tanpa tahu berapa harga masingmasing,
mana yang lebih mahal, kalkulator atau kaca mata?
2. Berapa kalkulator dapat dibeli seharga 5000?
3. Berapa harga satu kalkulator? Satu kaca mata?
Proses belajarnya interaktif dalam arti adanya komunikasi dan interaksi antara guru dan murid
serta murid dan murid. Dimulai dengan memberikan soal kepada siswa misalnya dalam bentuk
lembaran kerja siswa, mereka bekerja dalam suatu group 2, 3 atau 4 orang. Guru berjalan
keliling kelas bertanya dan merespon seadanya tentang proses memecahkan masalah. Murid
senang sekali akan proses belajar seperti ini. Setelah beberapa menit, guru mengakhiri bagian
pelajaran ini. Murid di minta untuk menunjukkan dan menjelaskan solusinya di papan tulis
dalam diskusi kelas yang interaktif.
Setelah diskusi kelas tanpa merekomendasikan secara ekplisit mana strategi yang terbaik
dari strategi yang ada, guru meneruskan dengan memberikan soal kontekstual berikutnya:
5. Berapa harga tiga payung? Tiga topi?
6. Berapa harga satu payung? Satu topi?
Aktivitas belajar siswa diulang lagi dengan pola yang sama yaitu diskusi kelompok kemudian diskusi kelas yang diwarnai dengan komunkasi, argumentasi dan justifikasi oleh siswa dimana peran guru sebagai fasilitator, moderator dan evaluator. Diakhir pelajaran siswa diminta untuk menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari dan berdasarkan beberapa kesimpulan siswa, guru menarik kesimpulan apa yang telah dipelajari.
Kegiatan selanjutnya jika waktu masih ada guru memberikan soal akhir unit atau soal yang merangkum apa yang telah dipelajari. Jika tidak ada waktu lagi maka soal tersebut dapat dijadikan pekerjaan rumah bagi siswa. Sebagai contoh soal berikut (lihat detail pada [6]):
Berapakah harga satu baju
kaos dan satu gelas es krim?
Berikan penjelasan!
Dari soal ini, dijelaskan oleh bahwa muncul beberapa strategi jawaban yang digunakan siswa diantaranya adalah: strategi guess and check- tebak harga satuan dan uji kebenarannya; strategi reasoning- dasar eleminasi dengan menggiring ke satu barang yang dibeli; strategi combination chart-menggunakan grafik sederhana harga kaos sebagai sumbu datar dan es krim sumbu lainnya; dan strategi notebook-menggunakan dasar operasi tabel atau baris elementer. Semua strategi ini, dengan interaksi, refleksi dan skematisasi, siswa digiring untuk menggunakan variabel k (kaos) dan e (es krim) yang pada akhirnya menjadi bentuk formal dari sistem persamaan linear dua variabel yaitu:
2k +2e = 4400 dan
1k+3e=3000.
5. Simpulan
Telah dijelaskan pengertian, type, peran dan contoh soal kontekstual matematika sekolah yang diwajibkan untuk digunakan sesuai dengan tuntutan KTSP. Begitu juga pembahasan tanggung jawab guru matematika yang profesional sesuai tuntutan Undang-undang guru dan dosen. Selain itu, contoh bagaimana mendesain soal kontekstual matematika yang dikaitkan dengan teori pembelajaran RME atau PMRI. Guru matematika dalam hal ini amat penting mempunyai kemampuan mendesain sendiri soal-soal kontekstual, mencobakannya pada siswa yang juga akan bermanfaat dalam menyiapkan siswa untuk menghadapi UAN. Dua hal yang akan didapat oleh siswa yaitu mereka tidak hanya akan menyenangi dan mengerti matematika tetapi sekaligus akan mampu menyelesaikan soal-soal ujian akhir nasional. Tentu soal-soal kontekstual yang didesain perlu di uji kevalidannya melalui review oleh teman seprofesi, kemudian direvisi, sebelum digunakan oleh siswa di dalam kelas. Nantinya, dengan beberapa kali revisi, soal-soal kontekstual tersebut akan menjadi produk yang berkualitas, menarik bagi siswa dan memudahkan mereka mengerti konsep matematika.
Daftar Pustaka
[1] De Lange, J. 1987. Mathematics, insight and meaning. Utrecht: OW &OC
[2] Gravemeijer, K.P.E. 1994. Developing realistic mathematics education. Utrecht: CD-ß Press / Freudenthal Institute
[3] Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 (standar isi, 23
(standar kompetensi lulusan, dan 24(Pelaksanaan Permen 22 dan 23). Available at : [ http://www.setjen.depdiknas.go.id/ ]. Retrieved On Juni 7th, 2006
[4] Depdiknasl 2005. Undang Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Available at : [ http://www.depdiknas.go.id/inlink.php?to=guru-dosen ]. Retrieved On July 1st, 2006
[5] Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1996. Assessment and realistic mathematics education. Utrecht: CD-B Press / Freudenthal Institute.
[6] Van Reeuwijk, M. 1995. The Role of Realistic Situations in developing tools for solving systems equations. Paper presented at the 1995 AERA meeting in San Fransisco. Available on line at http://www.fi.uu.nl/publicaties/literatuur/3781.pdf
[7] Zulkardi. 2002. Development a Learning environment on Realistic Mathematics Education (RME) for Indonesian student teachers. Dissertation. University of Twente, Enschede. The Netherlands.
#Paper ini merupakan paper terseleksi dan dipublikasikan pada prosiding KNM13 Semarang, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar